Aku dari sudut pandang dia

Kamis, 20 Oktober 2011

Inilah aku, Laki-laki dari kampung, dengan wajah berseri dan bergaya gemerlap. Kebanyakan bicara dan merasa pintar dengan akademikku. Berkawan sedikit dan memilih, aku laki-laki dari kampung yang pendiam dengan jati dirinya. Merasa tak nyaman bila terusik.
Sekarang aku berbeda, tidak berseri lagi, tidak pongah lagi. Karena ada rasa ganjal dalam hatiku, karena ada rasa keliru memendam.
Kereta Jakarta – Jogja..
Aku turun dengan langkah linglung menyandang ransel bermerk, sepatu pantofel mengkilat, kemeja merah hati  dengan lengan tergulung berantakan, celana panjang berharga ratusan. Dengan muka putih terawat dan rambut rapih tak berbelah, sesosok mahal sekilas orang memandang. Memang dari dulu aku suka menjadi fokus. Aku bergegas mencari tempat untuk istirahat selepas perjalanan yang memuakkan tadi. Aku memilih duduk di bagian pojok karena disini aku bisa melihat sekeliling tanpa ada yang menghalangi. Disini, aku diam memandang tak terarah, imajinasiku bermain mengingat beberapa tahun lalu. Aku yang merasa bersalah dan malas menatap kota ini, aku yang merasa terasing di kota kelahiranku sendiri, karena kesalahanku menyiakan seorang. Rasa itu aku pikir akan hilang dengan aku pindah ke kota besar, namun aku meleset, ternyata rasa bersalah itu kian memburuku, seperti pemburu yang gila menembakkan senjatanya di hadapan buruannya. Aku merasa kacau dan tak tentu. Setelah aku menikah dengan seorang gadis ayu, aku pergi begitu saja meninggalkan kekasihku dulu. Aku tak peduli, aku tak berpikir dan aku tak mengira kehidupanku akan kacau oleh sakitnya mentalku. Rasa itu merongrongku hingga rongga itu tak mampu lagi.
Aku yang berdalih kepada istriku untuk mengijinkanku menengok kedua orangtua ku, rindu kubilang padanya. Tapi itu semua hanya alasanku saja. Aku kembali di kota ku ini hanya untuk menemui gadisku dulu, aku ingin meminta maaf dan sekedar menerangkan mengapa aku meninggalkannya tanpa pesan. Mata ini kembali membayang tak terarah, memikirkan kalimat yang akan aku ucap untuk menghibur gadisku. Aku siap dimaki, aku siap diberlakukan kasar sekalipun.
Sudah hampir petang aku duduk di pojok stasiun, meragu aku melangkah, tak tahan aku menapaki setiap jalan di kota ini. Aku merasa kecil dan tak bernyawa, hilang nyali ku. Terbayang wajah istri dan anak-anakku menunggu kabar keadaan orangtuaku dan ceritaku disini, sekelebat terbayang juga wajah gadisku yang aku tinggalkan 3 tahun lalu.  Sempat aku berpikir konyol untuk kembali lagi di kota besar itu, dan mencoba melupakan masalahku. Aahh, sebegitu pengecutnya aku? Tidak!
Aku berlari menerobos lalu lalang sekitar menjemput cakrawala selatan.
# aku kembali gadisku, maafkan aku.
19 Oktober 2011  

0 komentar:

Posting Komentar