..Perempuan dalam Takdir Hujan..

Kamis, 10 November 2011

Pagi hujan, semalam mendung menggambarkan langit.
Dari jendela lapuk berbau mendung perempuan hujan berperasa biru dalam gaun ungu menunggu gerimis.
Sayu dan bertekuk mata perempuan hujan, lelah diantara hujan.
Malaikat turun bersemayam dengan deras, perempuan hujan tengadah mendengungkan doa.
Selalu doa yang sama di setiap hujan,
Dalam naungan rintik perempuan hujan beranjak dari jendelanya, merasakan setiap peluh dari Rabbnya.
Terkutuk dalam setiap tetes, tersurat dalam guyuran, wanita hujan.
Perempuan hujan tidak berbenah, beringsut pun enggan.
Hitam seketika, bertambah pekat dan keras.
Perempuan hujan masih dalam hujannya, seakan siap beradu dengan Tuhannya.
Memanjat meminta pengampunan, merintih meminta terlepas.
Tersebab seseorang disana telah bahagia, disusul seseorang yang lain.
Bukan perempuan itu cemburu, hanya bertanya kepada Pemberi hujan.
Apa dia menjadi berkesah dan sepi seorang.
Berselonjor peluh hujan menunggu dipinang.
Tersampai rasa ingin yang menggebu tersurat kepadaNya.
Berganti hanya titik-titik embun,
Perempuan hujan masih terpekur di tempat tadi bermunajat.
Sampai hujan berganti, tak jenuh dia mengadu.

# Semoga dia dan dia berbahagia disana.

Tengah hari dalam bau hujan, 7 November 2011.

Warna ku

Kamis, 27 Oktober 2011

Putih, inilah yang paling aku suka, bersih, suci, elegan, pas untuk dipadankan dengan yang lain dan aku pernah memakainya. Aku suka, ini dulu pernah warnaku.
Jingga  keemasan, aku masih suka warna ini, tidak ada masalah walaupun terkadang bukan lagi keemasan, tapi kusam.
Abu-abu, biru, ungu, mereka sekarang menjadi satu. Mereka berganti mewarnaiku seperti coreng moreng negaraku.
Abu-abu muda, sedang dan tua. Biru cerah, biru laut dan biru hitam. Ungu, walaupun muda selalu saja kelam. Warna kesedihan, simbol kehilangan, keputusasaan, kesendirian, tapi aku suka dari yang muda sampai magenta, aku selalu suka.
Aku sedang mencari warni gairah, merah darah mungkin, tapi aku trauma.
Coklat, sembarang coklat, bukan, itu warna seorang pencari aman.
Kuning, aku tidak pernah mencoba memakainya.
Aku masih bertahan di ungu, terlalu dalam, terlalu luka dan terlalu perih, tapi aku masih bertahan.
Biarkan ungu itu menguap menjadi pudar dan kembali putih.

26 Oktober 2011


Idealis

Selasa, 25 Oktober 2011

Nyaris sempurna, tanpa cela, berbeda, dingin, anggun dan enak dipandang.
Aku tidak bisa mengalihkan baitku tentangnya.
Bukan seorang pesolek yang hanya dimata saja.
Pendiam, pandai, pemimpin sekaligus penggertak.
Dia tak ada yang lain, kalauapun ada berbeda, dan bukan dia.
Mustahil, itu bukan dia tapi seorang lain.
Sama tanpa cela, tapi berbeda.
Sama dingin, tapi bukan.
Sama berbeda, tapi tetap berbeda.
Sama anggun, tapi tetap bukan.
Bukan, bukan, bukan, berbeda bukan dia.
Aku tidak mau,
Aku tidak ingin.
Apa aku harus merengek?
Apa aku harus berdoa lagi?
Ahh, berdoa pun tidak akan mengubah.
Aku harus bagaimana?
Semua berbeda, bukan dia, bukan dia hanya hampir, tapi tetap berbeda dan bukan.
Hanya sebuah topeng, yang tersenyum.
Aku tidak mau, aku tidak mau, bukan dia yang aku mau, tapi dia yang lain.
25 Oktober 2011
# aku menangis menulis ini.

Kembalikan mimpiku

Senin, 24 Oktober 2011
Aku adalah burung yang bersayap putih dan berbulu paling lembut diantara kawan-kawanku. Bukannya aku pongah, tapi memang banyak burung lain yang cemburu pada saljunya buluku. Leherku ramping dan kuat dengan warna putih dan coklat susu, badanku pun serupa. Namun hanya sayapku lah yang paling putih, putih tanpa cela coklat susu dan itu yang menambah keelokan rupaku. Paruhku berwarna coklat merah muda dengan ujung berkelok sedikit, tapi yang lebih aku sukai adalah mataku, mataku coklat tua nyalang siap memangsa. Setiap pagi dan senja aku selalu mengepakkan sayapku dengan berlatar matahari, aku selalu suka matahari terbit ataupun tenggelam, menurutku akan begitu kontras warnaku dengannya. Dan aku akan lebih melebarkan kepak sayapku ketika matahari terlihat separuh, namun saat matahari benar-benar pergi, aku akan menghentikan kepakku dan bertengger di dahan pohon, pohon yang sama. Aku suka melamun di dahan itu, dahan pohon mahoni, ramping, anggun dan kuat, daunnya pun lebat menaungi tanah sekelilingnya. Lamunanku  seringkali berujung kepedihan, bukannya aku tidak terima oleh takdir Tuhanku, tapi karena aku sering melakukan hal yang menurutku baik tapi tak sepaham dengan kawanku yang lain. Perlu kau tau, aku burung cantik yang kesepian, aku hanya berteman sedikit bukan aku memilih, tapi mereka yang enggan bermain denganku, akupun tak mengerti alasan mereka.
Senja itu, ketika aku menunggu matahari tenggelam tiba-tiba teman kecilku menghampiriku di dahan mahoni, aku tidak mendengar kepaknya, ah dia selalu mengendap untuk mendatangiku. Dia adalah burung sekelompok denganku, berwarna gading dengan sayap serupa, tidak ada warna lain di bulunya. Entah mengapa dia datang pada waktu ini, padahal dia tau aku tidak pernah melewatkan saat matahari tinggal separuh, aku enggan bercerita dengannya, tapi dia tetap berceloteh seperti biasa, terpaksa aku larut dalam bincangnya. Akhirnya matahari separuh, aku bersorak menyambutnya, tanpa pamit dengan temanku aku terbang menghampirinya, terbang kawan, aku terbang dengan sayapku, lepas dan inilah impianku. Aku terbang dan ingin rasanya menghentikan waktu agar aku bisa lebih lama terbang mengejar mimpiku, aku ingin teriak agar semua tahu begitu banyak mimpiku. Angin senja membelai bulu putihku, aku memandang cakrawala tanpa batas, disinilah mimpiku akan ku raih. Tiba-tiba teman gading itu menyusul, aku tidak tahu sejak kapan karena aku baru sadar saat matahari hanya siluet dia sudah tersenyum disampingku, aku tidak suka itu, dia merusak mimpiku senja ini. Aku begitu marah dengan tingkahnya, aku diam kembali di dahan mahoni, dan dia masih menemaniku senja ini.
Setelah saat itu, teman gadingku itu selalu datang di pohonku, menemaniku melamun dan terbang bersamaku, bersama semua mimpi dalam benakku. Menurutku, dia tidak pantas terbang mengiringi matahari, karena akan sangat tidak pas warna gadingnya dengan matahari jingga. Rasanya aku ingin teriak, mengadu dalam bebasku.
24 Oktober 2011

 

Aku dari sudut pandang dia

Kamis, 20 Oktober 2011

Inilah aku, Laki-laki dari kampung, dengan wajah berseri dan bergaya gemerlap. Kebanyakan bicara dan merasa pintar dengan akademikku. Berkawan sedikit dan memilih, aku laki-laki dari kampung yang pendiam dengan jati dirinya. Merasa tak nyaman bila terusik.
Sekarang aku berbeda, tidak berseri lagi, tidak pongah lagi. Karena ada rasa ganjal dalam hatiku, karena ada rasa keliru memendam.
Kereta Jakarta – Jogja..
Aku turun dengan langkah linglung menyandang ransel bermerk, sepatu pantofel mengkilat, kemeja merah hati  dengan lengan tergulung berantakan, celana panjang berharga ratusan. Dengan muka putih terawat dan rambut rapih tak berbelah, sesosok mahal sekilas orang memandang. Memang dari dulu aku suka menjadi fokus. Aku bergegas mencari tempat untuk istirahat selepas perjalanan yang memuakkan tadi. Aku memilih duduk di bagian pojok karena disini aku bisa melihat sekeliling tanpa ada yang menghalangi. Disini, aku diam memandang tak terarah, imajinasiku bermain mengingat beberapa tahun lalu. Aku yang merasa bersalah dan malas menatap kota ini, aku yang merasa terasing di kota kelahiranku sendiri, karena kesalahanku menyiakan seorang. Rasa itu aku pikir akan hilang dengan aku pindah ke kota besar, namun aku meleset, ternyata rasa bersalah itu kian memburuku, seperti pemburu yang gila menembakkan senjatanya di hadapan buruannya. Aku merasa kacau dan tak tentu. Setelah aku menikah dengan seorang gadis ayu, aku pergi begitu saja meninggalkan kekasihku dulu. Aku tak peduli, aku tak berpikir dan aku tak mengira kehidupanku akan kacau oleh sakitnya mentalku. Rasa itu merongrongku hingga rongga itu tak mampu lagi.
Aku yang berdalih kepada istriku untuk mengijinkanku menengok kedua orangtua ku, rindu kubilang padanya. Tapi itu semua hanya alasanku saja. Aku kembali di kota ku ini hanya untuk menemui gadisku dulu, aku ingin meminta maaf dan sekedar menerangkan mengapa aku meninggalkannya tanpa pesan. Mata ini kembali membayang tak terarah, memikirkan kalimat yang akan aku ucap untuk menghibur gadisku. Aku siap dimaki, aku siap diberlakukan kasar sekalipun.
Sudah hampir petang aku duduk di pojok stasiun, meragu aku melangkah, tak tahan aku menapaki setiap jalan di kota ini. Aku merasa kecil dan tak bernyawa, hilang nyali ku. Terbayang wajah istri dan anak-anakku menunggu kabar keadaan orangtuaku dan ceritaku disini, sekelebat terbayang juga wajah gadisku yang aku tinggalkan 3 tahun lalu.  Sempat aku berpikir konyol untuk kembali lagi di kota besar itu, dan mencoba melupakan masalahku. Aahh, sebegitu pengecutnya aku? Tidak!
Aku berlari menerobos lalu lalang sekitar menjemput cakrawala selatan.
# aku kembali gadisku, maafkan aku.
19 Oktober 2011  

Kagum

Rabu, 05 Oktober 2011

Pria itu tidak pintar, bahkan nilai akademiknya pun pas-pas an. Lulus kuliah juga terbilang terlambat dibanding kawan- kawan yang lain. Tapi pria itu punya pikiran yang tidak terjangkau memandang fatamorgana di negara kaya ini. Dia dengan sejuta mimpi dan angannya, dia dengan ketulusan dan kebaikan yang sudah keluarganya tanamkan. Maklum kakeknya adalah seorang guru besar di universitas swasta, dan ayahnya adalah seorang walikota dan guru para mahasiswa. Tak heran dia seperti itu. Pria parlente aku memanggilnya. Dengan kemeja licin polos berwarna dan dasi berharga ratusan, celana pun tak kalah mewahnya. Tangan terkepal berada di saku, seakan menambah kehebatannya. Berjalan tegap dengan senyum sederhana. Langkah mantap priyayi muda yang anggun, kagum..